RIWAYAT PANGERAN NATAS ANGIN
Kita mafhum bahwa berdiri tegak dan berjayanya Kerajaan
Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa tempo doeloe
adalah berkat dukungan dan perjuangan dari banyak tokoh, terutama
sekali karena di dukung oleh suatu dewan dakwah yang dikenal dengan
sebutan “Walisanga” (Wali Sembilan). Namun belum banyak yang mengetahui
bahwa diantara tokoh – tokoh yang dulu ikut mendukung dan memperjuangkan
kejayaan kerajaan Islam Demak itu, ternyata di dalamya terdapat tokoh
dari tanah seberang, yaitu Pangeran Natas Angin yang
berasal dari Kerajaan Gowa, Makassar Sulawesi Selatan.
Pangeran Natas Angin
Pangeran Natas Angin aslinya adalah seorang bangsawan yang berasal
dari Kerajaan Gowa di Sombaopu, Makasar, sulawesi selatan. Lahir pada
tahun 1498. Siapa areng ri kale (nama kecilnya) tidak
diketahui, sedang areng paddaengang (nama gelar
kebangsawanannya) adalah Daeng Mangemba Nattisoang.
Ayahanda Daeng Mangemba Nattisoang (Pangeran Natas Angin) adalah Raja
Gowa ke-9 bernama Karaeng Tumapa’risi Kalonna yang
memerintah Kerajaan Gowa pada tahun 1491 – 1527. Ibundanya bernama I
Malati Daeng Bau’, puteri dari salah seorang pembesar kerajaan
Tallo yang tinggal di daerah Marusu’.
Konon isteri Raja Gowa ke-9 itu banyak. Dari perkawinannya dengan I
Malati Daeng Bau’, hanya menurunkan seorang putera yaitu Daeng
Nattisoang. Karena ibunda Pangeran Natas Angin ini hanya seorang puteri
pembesar kerajaan Tallo atau bukan puteri raja, maka darah
kebangsawanannya dianggap kurang penting. Dengan demikian darah
kebangsawanan Pangeran Natas Angin ini-pun dalam tata urutan Raja-raja
Gowa dianggap kurang tinggi.
Pangeran Natas Angin termasuk golongan anak sipuwe (anak
separoh) dan bukan merupakan anak pattola (putera mahkota) yang
paling memenuhi syarat berhak untuk menggantikan raja. Adapun putera
mahkota yang paling memenuhi syarat untuk menggantikan raja Gowa adalah
putera-putera yang lahir dari permaisuri. Permaisuri Raja Gowa ke-9
adalah puteri dari Karaeng Tunilabu ri Suriwa, raja tallo ll. Dari
perkawinan ini baginda dikaruniai empat orang putera yaitu :
- Karaeng Tunipalangga (akhirnya menjadi Raja Gowa ke-10)
- Karaeng Tunibatta (akhirnya menjadi Raja Gowa ke-11 )
- I Tapicinna Karaeng ri Bone (perempuan)
- I Sapi Karaeng ri Sombaopu (Perempuan)
Masa kecil Pangeran Natas Angin hidup dalam lingkungan keluarga
kerajaan Gowa yang taat pada agama/kepercayaan leluhur. Saat itu
pengaruh Islam sama sekali belum masuk ke dalam lingkungan keluarga
kerajaan Gowa.
Sejak kecil Pangeran Natas Angin sudah getol mempelajari
berbagai macam ilmu kanuragan dan ilmu kesaktian. Guru yang
membimbingnya sejak kecil bernama Daeng Pomatte’. Daeng
Pomatte’ ini adalah kakak kandung I Malati Daeng Bau’, ibunda Pangeran
Natas Angin. Setelah I Malati Daeng Bau’ dijadikan selir oleh raja Gowa
ke-9, Daeng Pomatte’ ikut pindah ke Gowa dan diberi kedudukan sebagai
“Juru tulis” kerajaan. Jadi guru Pangeran Natas Angin ini sebenarnya
masih termasuk mamak atau pamannya sendiri
Sejak usianya tujuh tahun ia sudah sering diajak oleh gurunya pergi
ke suatu tempat -yang dilalui angin kencang, berjurang terjal di antara
bukit-bukit yang menjulang tinggi di dekat pantai Selat Makassar.
Penulis menduga bahwa tempat yang dulunya digunakan untuk berlatih ilmu
menolak angin tersebut, lokasinya sekarang ini adalah tempat dimana
berdirinya Stadion Mattoangin.
Di tempat yang dilalui angin kencang inilah Pangeran Natas Angin
berlatih Ilmu kanuragan dan ilmu tenaga dalam dengan cara berlatih menolak
atau menghalau angin dengan kedua telapak tangannya. Berkat
kegigihan semangat, ketekunan, keyakinan, serta penghayatannya dalam
berlatih ilmu, akhirnya pangeran Natas Angin memperoleh keberhasilan.
Pada usia sembilan tahun sudah berhasil menguasai ilmu “tolak angin”,
yaitu kemampuan menghalau angin dengan kedua telapak tangannya sehingga
angin berbalik arah.
Kemampuan Pangeran Natas Angin dalam menghalau angin ini akhirnya
diketahui oleh orang banyak, termasuk juga diketahui oleh pihak keluarga
kerajaan. Karena kemampuannya “menghalau” angin tersebut, lantas
masyarakat adat Kerajaan Gowa memberinya nama sebutan “Mangemba”, bahasa
Makassar berarti “menghalau”. Sejak saat itu namanya dikenal dengan
Daeng Mangemba Nattisoang, bahasa Makassar berarti “Pangeran yang
Menghalau Angin”
Meskipun Pangeran Natas Angin hanya seorang anak sipuwue, namun
karena memiliki ilmu kesaktian yang tinggi, ia sering diajak mendampingi
ayahandanya berperang untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan lain. Pada
tahun 1511 Pangeran Natas Angin berjasa dalam menaklukkan negeri Garassi,
yaitu dengan cara menghempaskan panglima perang kerajaan Garassi dengan
pukulan tenaga dalam. Akibat pukulan itu, bagian belakang kepala
panglima perang Garassi membentur batu dan akhirnya tewas.
Pada suatu hari dalam tahun 1512, Pangeran Natas Angin diajak
ayahandanya untuk mendampingi baginda memerangi orang-orang Islam dari
Jawa yang tinggal di Kampung Pammolingkang, daerah
sekitar Gowa.Komunitas Islam dari Jawa yang tinggal di daerah sekitar Gowa ini
berjumlah sekitar 100 orang, dan dipimpin oleh Kyai Sulasi,
orang Gowa menyebutnya I Galasi.
Raja Gowa ke-9 memerangi orang-orang dari Jawa karena termakan
hasutan sahabat barunya, yaitu orang-orang Portugis yang telah berhasil
menguasai Malaka sejak tahun 1511. Portugis mengatakan kepada baginda,
bahwa orang-orang Islam dari Jawa yang tinggal di sekitar Gowa itu harus
diperangi karena mereka adalah sekutu Katir, yaitu
seorang pemuda dari Jawa (Jepara) yang sering mengadakan perlawanan
terhadap orang-orang Portugis di perairan Selat Malaka.
Pemuda Katir ini di mata orang-orang Portugis di-cap sebagai
seorang bajak laut di perairan Selat Malaka yang paling ditakuti. la
sering memblokir dan merompak kapal-kapal dagang pengangkut beras
kiriman dari Jawa yang di-impor Portugis untuk memenuhi
kebutuhan Malaka, sehingga orang-orang Portugis mengalami kekurangan
makanan. Apabila Katir memiliki cukup bekal bahan makanan, maka
perlawanan terhadap Portugis diteruskan. Namun jika Katir kehabisan
bekal makanan, maka perang dihentikan dan akan diteruskan lagi setelah
memperoleh bekal bahan makanan.
Berhijrah ke Demak
Setelah mendapat restu dari ayahandanya, Daeng Mangemba Nattisoang pun segera ikut berlayar bersama Kyai Sulasi. Dalam perjalanan dari Gowa menuju Selat Malaka, kapal yang ditumpangi Kyai Sulasi berangkat dari Pammolingkang (sekarang Galesong) melewati perairan Laut Jawa untuk bergabung dengan “Laskar Pati Unus” di Pelabuhan Jepara. Dari Pelabuhan Jepara selanjutnya armada Demak yang dipimpin oleh Pangeran Pati Unus akan berangkat secara bersama-sama ke Selat Malaka.
Tercatat dalam buku Sejarah Nasional Indonesia III (Nugroho Notosusanto,1993 : 50), bahwa kekuatan armada Demak yang dikerahkan ke Selat Malaka berjumlah 10.000 prajurit yang mengendarai 100 jung (kapal). Rute yang ditempuh adalah: Pelabuhan Jepara, melewati perairan Selat Bangka, Selat Berhala, perairan Riau, dan akhirnva menuju Selat Malaka. Ketika armada Demak sampai di perairan Selat Berhala (perairan di sebelah barat Pulau Singkep), armada Demak terhambat oleh amukan badai topan. Akibat serangan badai tersebut, beberapa kapal armada Demak mengalami kerusakan, bahkan ada kapal yang terbalik sehingga prajuritnya tercebur ke laut dan akhirnya tewas.
Melihat keadaan yang sangat membahayakan itu, Daeng Mangemba Nattisoang cepat mengambil inisiatif dan segera bertindak. llmu “Menolak Angin” yang dikuasainya segera diamalkannya Atas izin Tuhan Yang Maha Kuasa, angin topan tatas (berhasil dihalau) oleh Daeng Mangemba Nattisoang sehingga akhirnya armada Demak bisa melanjutkan perjalanan sampai ke Selat Malaka.
Oleh sebab jasanya berhasil “mengatasi” angin topan yang menggila tadi, Pangeran Pati Unus berkenan menganugerahkan nama sebutan “Pangeran Penatas Angin” sebagai pengganti nama Daeng Mangemba Nattisoang yang agak sulit diucapkan oleh lidah orang Jawa. Nama ini sesuai dengan nama gelar dari negeri asalnya Daeng “Mangemba” Nattisoang, bahasa Makassar artinya “Pangeran yang menghalau angin”. Nah, sejak saat itu nama “Pangeran Penatas Angin” atau ”Pangeran Natas Angin” menjadi lebih dikenal oleh masyarakat luas hingga sekarang.
Setelah badai topan reda, akhirnya armada Demak berhasil rnencapai Selat Malaka. Perang besar antara armada Demak dan armada Portugis pun tidak terelakkan lagi. Tercatat dalam sejarah, perang terjadi pada tanggal 1 Januari 1513. Dalam perang tersebut armada Demak mengalami kekalahan telak. Dari 100 kapal dengan 10.000 prajurit, hanya tinggal tujuh buah kapal dengan sekitar 700 prajurit yang selamat dan kembali ke Jawa.
Sungguh pilu hati Pangeran Natas Angin menyaksikan kekalahan tragis armada Demak tersebut. Senjata dari kapal-kapal Portugis dirasakan terlalu berat untuk dilawan. Daya bunuh meriam dari kapal-kapal Poilugis sangat besar, sehingga dalam waktu yang singkat saja bisa menghancurkan puluhan kapal-kapal armada Demak dan menewaskan ribuan prajuritnya. Peristiwa tersebut, numbuhkan rasa simpati Pangeran Natas Angin terhadap armada Demak, dan memuncuIkan anti pati (kebencian) terhadap orang-orang Portugis.
Terdorong oleh rasa simpatinya terhadap armada Demak yang semuanya adalah orang-orang Islam dari Jawa, akhirnya Pangeran Natas Angin memutuskan untuk berhijrah ke Demak. Ia tidak mau pulang ke Gowa, melainkan terus ikut kapal Kyai Sulasi pergi ke Jawa untuk berguru ilmu-ilmu agama lslam sambil mengabdikan diri di Kerajaan lslam Demak.
Setelah mendapat restu dari ayahandanya, Daeng Mangemba Nattisoang pun segera ikut berlayar bersama Kyai Sulasi. Dalam perjalanan dari Gowa menuju Selat Malaka, kapal yang ditumpangi Kyai Sulasi berangkat dari Pammolingkang (sekarang Galesong) melewati perairan Laut Jawa untuk bergabung dengan “Laskar Pati Unus” di Pelabuhan Jepara. Dari Pelabuhan Jepara selanjutnya armada Demak yang dipimpin oleh Pangeran Pati Unus akan berangkat secara bersama-sama ke Selat Malaka.
Tercatat dalam buku Sejarah Nasional Indonesia III (Nugroho Notosusanto,1993 : 50), bahwa kekuatan armada Demak yang dikerahkan ke Selat Malaka berjumlah 10.000 prajurit yang mengendarai 100 jung (kapal). Rute yang ditempuh adalah: Pelabuhan Jepara, melewati perairan Selat Bangka, Selat Berhala, perairan Riau, dan akhirnva menuju Selat Malaka. Ketika armada Demak sampai di perairan Selat Berhala (perairan di sebelah barat Pulau Singkep), armada Demak terhambat oleh amukan badai topan. Akibat serangan badai tersebut, beberapa kapal armada Demak mengalami kerusakan, bahkan ada kapal yang terbalik sehingga prajuritnya tercebur ke laut dan akhirnya tewas.
Melihat keadaan yang sangat membahayakan itu, Daeng Mangemba Nattisoang cepat mengambil inisiatif dan segera bertindak. llmu “Menolak Angin” yang dikuasainya segera diamalkannya Atas izin Tuhan Yang Maha Kuasa, angin topan tatas (berhasil dihalau) oleh Daeng Mangemba Nattisoang sehingga akhirnya armada Demak bisa melanjutkan perjalanan sampai ke Selat Malaka.
Oleh sebab jasanya berhasil “mengatasi” angin topan yang menggila tadi, Pangeran Pati Unus berkenan menganugerahkan nama sebutan “Pangeran Penatas Angin” sebagai pengganti nama Daeng Mangemba Nattisoang yang agak sulit diucapkan oleh lidah orang Jawa. Nama ini sesuai dengan nama gelar dari negeri asalnya Daeng “Mangemba” Nattisoang, bahasa Makassar artinya “Pangeran yang menghalau angin”. Nah, sejak saat itu nama “Pangeran Penatas Angin” atau ”Pangeran Natas Angin” menjadi lebih dikenal oleh masyarakat luas hingga sekarang.
Setelah badai topan reda, akhirnya armada Demak berhasil rnencapai Selat Malaka. Perang besar antara armada Demak dan armada Portugis pun tidak terelakkan lagi. Tercatat dalam sejarah, perang terjadi pada tanggal 1 Januari 1513. Dalam perang tersebut armada Demak mengalami kekalahan telak. Dari 100 kapal dengan 10.000 prajurit, hanya tinggal tujuh buah kapal dengan sekitar 700 prajurit yang selamat dan kembali ke Jawa.
Sungguh pilu hati Pangeran Natas Angin menyaksikan kekalahan tragis armada Demak tersebut. Senjata dari kapal-kapal Portugis dirasakan terlalu berat untuk dilawan. Daya bunuh meriam dari kapal-kapal Poilugis sangat besar, sehingga dalam waktu yang singkat saja bisa menghancurkan puluhan kapal-kapal armada Demak dan menewaskan ribuan prajuritnya. Peristiwa tersebut, numbuhkan rasa simpati Pangeran Natas Angin terhadap armada Demak, dan memuncuIkan anti pati (kebencian) terhadap orang-orang Portugis.
Terdorong oleh rasa simpatinya terhadap armada Demak yang semuanya adalah orang-orang Islam dari Jawa, akhirnya Pangeran Natas Angin memutuskan untuk berhijrah ke Demak. Ia tidak mau pulang ke Gowa, melainkan terus ikut kapal Kyai Sulasi pergi ke Jawa untuk berguru ilmu-ilmu agama lslam sambil mengabdikan diri di Kerajaan lslam Demak.
0 komentar:
Posting Komentar